Foto aerial bekas tambang batu bara di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (28/8/2019). Kementerian LHK akan memperbaiki lubang-lubang bekas tambang di kawasan calon ibu kota negara baru. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

Setelah sempat mangkrak di tahun lalu, pemerintah akhirnya memutuskan kembali melanjutkan revisi keenam atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba).

Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi membenarkan, kelanjutan revisi PP 23/2010 itu telah dibahas dalam rapat di Sekretariat Negara (Setneg). Menurut Hufron, rancangan revisi PP (RPP) tersebut sudah selesai melalui proses pembahasan, harmonisasi dan juga klarifikasi bersama kementerian terkait.

“Sudah selesai pembahasan,” kata Hufron saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (12/1).

Menurut informasi yang diterima Kontan.co.id, rapat klarifikasi untuk menindaklanjuti revisi PP 23/2010 itu digelar pada Jumat (10/1) lalu bertempat di Kantor Kementerian Sekretariat Negara.

Rapat yang dipimpin oleh Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan itu melibatkan sejumlah kementerian dan lembagai terkait, yakni Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kemenko Bidang Perekonomian, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Kementerian Hukum dan HAM, dan Sekretariat Kabinet.

Sebagai informasi, revisi keenam PP Nomor 23 tahun 2010 ini pada pokoknya disiapkan untuk mengatur perizinan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), khususnya dalam perpanjangan kontrak dan perubahan statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Revisi regulasi tersebut sudah mencuat sejak November 2018 lalu. Pemerintah awalnya menargetkan revisi PP Nomor 23/2010 bisa rampung pada akhir tahun 2018, namun penyelesaiannya terus molor hingga 2019.

Kontan.co.id mencatat, pada Januari 2019, tepat setahun lalu, RPP Nomor 23/2010 sebenarnya sudah disetujui dan diparaf oleh menteri terkait, yakni Menteri ESDM, Menteri Keuangan, dan Menko Perekonomian. Namun, revisi PP 23/2010 ini terganjal surat dari Rini Soemarno, Menteri BUMN saat itu.

Dalam surat yang disampaikan ke Menteri Setneg pada 1 Maret 2019 itu, Rini meminta supaya BUMN diberikan porsi pengelolaan terhadap tambang PKP2B yang akan habis kontrak.

Polemik perpanjangan kontrak PKP2B pun berlanjut. Sejak pertengahan hingga akhir tahun 2019 lalu, polemik tidak lagi pada revisi PP 23/2010, namun beralih ke revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 alias UU Minerba. Revisi UU Minerba saat ini tengah bergulir. Komisi VII DPR RI menargetkan, revisi tersebut bisa rampung pada Agustus tahun ini.

Kendati begitu, Hufron Asrofi mengklaim, revisi PP 23/2010 dibutuhkan lantaran dinilai paling memungkinkan untuk segera diterbitkan, sehingga bisa memberikan kepastian hukum dan investasi. Dibandingkan harus menunggu penyelesaian revisi UU Minerba yang masih harus dibahas di DPR.

“Mungkin RPP ini dianggap yang paling siap agar ada landasan hukum dan kepastian investasi, serta menjamin penerimaan negara,” ungkapnya.

Menurut Hufron, karena pada saat itu keberatan datang dari Kementerian BUMN, maka klarifikasi pun telah diberikan. Hufron bilang, saat ini revisi PP 23/2010 ini tinggal menunggu paraf dan persetujuan dari Menteri BUMN, Erick Thohir. Setelah itu, proses berlanjut dengan penyerahan RPP 23/2010 ke Presiden Joko Widodo disahkan.

“Tinggal menunggu paraf Menteri BUMN dan pengesahan presiden,” kata Hufron.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa pelaku usaha tengah menunggu kepastian dari pemerintah. Menurutnya, kepastian hukum dan investasi penting diberikan, baik dalam bentuk revisi PP maupun revisi UU.

“Kami ikut saja opsi yang mana yang akan diambil pemerintah. Kami yakin pemerintah akan memahami urgensinya dan dampaknya terhadap perekonomian nasional,” kata Hendra kepada Kontan.co.id, Minggu (12/1).

Pengamat hukum pertambangan Ahmad Redi bilang, dilanjutkannya revisi PP nomor 23/2010 ini terkesan dipaksakan. Apalagi, selain pembahasan revisi UU Minerba, saat ini tengah disusun omnibus law tentang Cipta Lapangan Kerja, yang di dalamnya juga memuat substansi mengenai pengelolaan minerba.

“Ada duplikasi law making process yang tidak efektif. ekonomisasi kekuasaan seperti terjadi dalam pembuatan regulasi,” kata Redi.

Senada, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengungkapkan, pemerintah semestinya tetap fokus untuk menyelesaikan revisi UU Minerba bersama DPR. Jika perlu, kata Bisman, substansi dalam revisi PP Nomor 23/2010 dimasukan ke dalam revisi UU Minerba yang memiliki kedudukan hukum lebih tinggi.

“Kalau saat ini pemerintah menggulirkan lagi revisi PP 23/2010, pasti ada tumpang tindih karena PP merupakan turunan dari UU, jangan sampai (revisi PP) hanya untuk melegitimasi kepentingan pihak-pihak tertentu,” tandas Bisman.

Sebagai informasi, ada tujuh PKP2B yang akan habis kontrak di tahun ini dan beberapa tahun ke depan, yakni PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).

Adapun, satu PKP2B, yakni PT Tanito Harum sudah terminasi dengan pembatalan perpanjangan kontrak, lantaran dinilai tidak memiliki landasan hukum untuk perpanjangan kontrak dan peralihan status menjadi IUPK.

Sumber – https://industri.kontan.co.id/

Berikan Komentar