Pemerintah tengah mendorong hilirisasi tambang demi meningkatkan nilai tambah bijih mineral melalui pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Namun, mestinya upaya hilirisasi tambang ini juga harus diimbangi dengan penyerapan produk dari smelter, sehingga produk smelter juga bisa langsung diolah menjadi barang jadi di dalam negeri.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno. Menurutnya selama ini produk smelter yang merupakan barang setengah jadi cenderung diekspor, dan pada akhirnya Indonesia malah mengimpor barang jadi dari luar negeri yang tentunya harganya jauh lebih mahal ketimbang ekspor produk setengah jadi dari smelter.
Meski demikian, dia mengatakan bahwa IMA tetap berkomitmen mendukung hilirisasi. Meski dalam perjalanannya ada juga yang berjalan lambat, karena terkendala pendanaan.Â
“Hilirasasi industri tambang dapat menunjang industri dasar logam di Indonesia dalam rangka membangun industri yang bisa menggantikan barang-barang yang diimpor, karena memang sementara ini kita belum bisa buat,” ungkapnya dalam wawancara khusus bersama CNBC Indonesia, Rabu (23/09/2020).
Oleh karena itu, pihaknya berharap agar proses hilirisasi ini tidak hanya berhenti pada industri smelter saja, namun juga dijalin sinergi antara tambang dan perindustrian, atau dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Kementerian Perindustrian. Dengan demikian, lanjutnya, produk-produk dari smelter bisa terserap.
“Sekarang ini sebagai contoh kita lihat hilirisasi tembaga di Gresik produksinya 300 ribu ton, Pak Presiden (Direktur) Freeport mengatakan dari produksi sebanyak itu, baru terserap dalam negeri sekitar 100 ribu ton terus yang 200 ribu ton selebihnya membuat kaya industri di luar, walaupun sudah 95% copper (tembaga), tapi yang mendapatkan keuntungannya adalah industri handphone, mobil, kabel, dan industri lain, itu yang harus kita kejar,” paparnya.
Menurutnya, pemerintah mesti mendorong kegiatan-kegiatan industri dasar logam ini dibangun, sehingga produk smelter tidak perlu lagi diekspor. Bila produk smelter ini diolah lagi menjadi barang jadi di dalam negeri, maka nilai tambahnya akan jauh lebih tinggi.
“Karena kalau beli tembaga per kilo sekarang berapa, per ton berapa, sedangkan kita beli mobil katakanlah Toyota Innova Rp 280 juta, itu berapa kali kita dapat kalau itu bisa diperoleh,” paparnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi turunan dari UU Minerba saat ini tengah dibahas, pemerintah memang mendorong adanya hilirisasi minerba. Tapi, imbuhnya, kunci dari kesuksesan dari hilirisasi adalah di industri yang dimiliki perindustrian.
“Industri yang menghasilkan adalah industri yang produknya dikonsumsi orang banyak. Sedangkan kalau kita kasih katoda tembaga, orang juga tidak mau beli, tapi kalau dikasih kabel untuk listrik, orang berlomba untuk membeli,” jelasnya.
Djoko mengusulkan strategi yang perlu dikembangkan di dalam RPP Minerba adalah mensinergikan industri hilirisasi tambang dengan industri dasar dalam Kementerian Perindustrian. Dalam hal ini yaitu industri dasar penyerap hasil smelter tambang yang ada di Indonesia.
Selain itu, hilirisasi dari tanah jarang (rare earth) diharapkan juga bisa dikembangkan karena ini mineral strategis di mana biasa diproduksi menjadi senjata.
“Harapan saya, untuk pengelolaan tambang kita juga pelajari sisi ilmu material, sehingga kita bisa mengejar ketertinggalan,” tuturnya.
Â
Sumber: https://www.cnbcindonesia.com